Tampak di kejauhan terhampar
tanah luas bergelombang pecah-pecah sebagai saksi bisu kekeringan yang
berkesinambungan. Saat itu sang surya telah hampir berada tepat di atas
ubun-ubun, sungguh panas sekali rasanya. Ketika mata menyusuri sudut jalan
beraspal di ujung sana, tampak terlihat seperti ada air yang membanjiri jalan
itu, mengalir lembut. Di setiap jengkal jalan yang dilewati tampak pula
kepulan-kepulan lembut asap yang keluar dari pori-pori aspal. Memang benar,
betapa panasnya saat itu…
Di tengah panasnya
mentari, silih berganti orang-orang lalu lalang menuju ke tempat teduhnya
masing-masing, memang waktunya melepas rasa penat yang sejak tadi pagi
menggelayut di setiap otot mereka. Ada yang menenteng sabit sambil memikul
cangkul di bagian pundaknya. Ada yang memanggul seonggok jerami atau
hijau-hijauan daun, sebagai pasokan pakan ternak mereka di esok pagi. Ada
pula yang hanya memakai caping sebagai tutup kepalanya, simbol
masyarakat desa, tanpa membawa peralatan tani apa pun. Hanya sekedar
menengok keadaan lahannya. Begitu bersemangatnya mereka!
Mereka melakukan
rutinitas demikian karena memang hanya itu yang bisa dilakukan, sebuah opsi
yang membingungkan, namun tak ada paksaan. Sepetak lahan tadah hujan, sekedar
secuil harapan daripada berpangku tangan. Tak ada hujan yang datang, begitu
kering kerontang. Ketika tiba masa pancaroba sebagai transisi musim hujan ke
musim kemarau, biasanya dimulai pada bulan April (lebih kurang berakhir pada
bulan September) selalu terjadi kekeringan.
Petani bercaping tadi, yang tak lain adalah Bu Sopiatun Ketua Kelompok Tani Perempuan Puji Luhur,
beserta rekan petani lainnya terlihat jelas raut muka yang muram. Memang tak kehilangan harapan meski pun hati mereka sebenarnya diliputi kekhawatiran akan masa panen berikutnya. Tanaman
mereka yang telah ditancapkan di tanah, tidak tahu lagi apakah bisa menopang
kebutuhan di saat anak-anak mereka silih berganti bergelayutan di tangan merengek-rengek
dan menangis kelaparan. Kenapa? Puso mereka menyebutnya demikian, tahu
artinya? Gagal panen… bila hujan tak kunjung datang…
Daun tanaman padi
bergoyang ke sana ke mari tertiup angin sepoi-sepoi. Pantas saja bergoyang karena
daunnya telah mulai ringan mengering. Terlihat di petak lahan yang tidak jauh
dari tanaman padi, berjajar tanaman jagung yang baru berumur sekitar satu
bulan. Beberapa tanaman daunnya memudar memutih. Pantas saja memutih karena
terkena serangan bulai, penyakit tanaman berupa jamur. Tanaman jagung yang
hampir muncul tongkolnya juga sudah mulai terlihat tidak segar seperti
sebelumnya. Mau ditunjukkan keadaan tanaman lainnya lagi? Dirasa tidak perlu
karena nasibnya tidak jauh beda dengan ke dua jenis tanaman tadi.
Nyamankah engkau wahai petani? Sepantasnya tanya
kepada siapa lagi? Pada rumput yang bergoyang kah? Kekeringan dan kemiskinan di
Kecamatan Pucanglaban Kabupaten Tulungagung, seolah telah melekat erat bagai
dua sisi sekeping mata uang. Dari musim ke musim tiada kenal masa. Memang,
secara hakikat hanya Tuhan lah yang paling prerogative dalam
menyelesaikan solusi tersebut. Namun, bukan berarti demikian cara mensikapinya.
Stakeholder lah yang harus dan wajib untuk segera campur tangan
dalam mengangkat permasalahan tersebut ke permukaan untuk dicarikan solusi
secara efektif, efisien, cepat, tepat, akurat dan bermanfaat… BRAVO PARA
PEMIHAK RAKYAT…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar